Senin, Juli 14, 2025
BerandaKalselPemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, 9 Pejuang Kesuma Bangsa Gugur

Pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, 9 Pejuang Kesuma Bangsa Gugur

BorneoNetwork – Warga Kalimantan Selatan umumnya mengetahui 10 November 1945 sebagai “satu-satunya” Hari Pahlawan.

Pada waktu itu di Surabaya terjadi pertempuran besar antara para pejuang melawan pasukan Sekutu.

Dalam aksi heroik demi mempertahankan kemerdekaan itu ribuan pejuang arek-arek Suroboyo gugur sebagai pahlawan kesuma bangsa.

Bagaimana perjuangan urang Banjar di daerah Kalimantan Selatan ?

Tak banyak yang tahu, pada Jumat 9 November 1945 ba’da shalat siang itu pecah perlawanan dari laskar rakyat Banjar melawan tentara NICA Belanda. Sebanyak 9 pejuang gugur ketika menyerang tangsi polisi di Jalan Jawa Banjarmasin (kini Jalan DI Panjaitan).

Bagaimana kronologinya?

Serangan 9 November 1945, berawal dari rapat-rapat rencana penyerangan beberapa hari sebelumnya. Rapat pertemuan rahasia itu sepanjang Oktober-November salah satunya diadakan di Kampung Pangambangan, Banjarmasin sebelah timur.

Sebelum itu, pada 16 Oktober 1945 para tokoh pejuang di daerah telah membentuk organisasi perjuangan bernama Barisan Berani Mati-Barisan Pemberontak Republik Indonesia Kalimantan (BBM-BPRIK) di Banjarmasin.

Sejumlah tokoh organisasi kelaskaran dalam wadah perjuangan BPRIK ini antara lain : A. Ruslan, Hadhariah M, Hasan Amir, Ahmad Benyamin, Mahlan SB, Aminuddin dan M. Amin Effendi.

Karena seringnya terjadi penangkapan para pejuang oleh NICA, untuk keamanan markas gerilya perlawanan dipindahkan ke kampung Pangambangan pada 20 Oktober 1945.

Beberapa objek target serangan para pejuang adalah Asrama Tatas, Pelabuhan, Rumah Sakit Ulin, dan penjagaan polisi untuk merebut persenjataan.

Rencana serangan pertama pada malam tanggal 1 ke 2 November 1945 gagal. Seorang tokoh BPRIK Mahlan SB dan beberapa pejuang lain tertangkap.

Serangan kedua dirancang. Rapat rahasia kembali digelar. Dari markas Pangambangan diputuskan M Amin Effendi dan Pak Halid sebagai komandan pemimpin penyerangan.

Ramli Nawawi dkk dalam “Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945 (1945-1949) Daerah Kalimantan Selatan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991)” menyebutkan penyerangan akan dilakukan pada siang hari atas usulan kelompok Pak Halid, dengan alasan untuk dapat membedakan antara orang-orang NICA/KNIL dengan tentara Aistralia. “Kenekadan dari kelompok Pak Halid ini didasari atas keyakinan bahwa mereka telah memiliki ilmu kebal.”

Sekitar 250 pemuda dari dalam kota dan sekitar 100 dari luar kota sudah bersiap. Mereka bergerak bermodal 4 karabijn, 2 pistol, sejumlah granat dan aneka persenjataan lainnya.

Target serangan adalah Tangsi Polisi. Target itu dipilih atas arahan anggota Kompi X dan polisi-polisi NICA bangsa Indonesia yang pro perjuangan.

Skenario politik penyerangan yang semula akan dapat bantuan orang dalam anggota polisi NICA ternyata gagal tidak sesuai rencana. Tentara pro pejuang itu telah dipindahkantugaskan oleh atasan mereka sebelumnya. Sebaliknya pasukan lapis baja NICA siap menghadang serangan para pemuda yang berusaha mengepung mendekati tangsi.

Dalam penyerangan terbuka sore Jumat 9 November 1945 penuh gagah berani itu akhirnya 9 kesuma bangsa anggota BPRIK gugur. Mereka adalah Baderan, Baderun, Utuh, Umar, Pain, Jamain, Tipa, Dullah dan Ma’rufi.

M. Amin Effendi, sebagai panglima penyerangan yang selamat menghindari penagkapan NICA lari ke daerah Martapura. Atas informasi pengkhianat mata-mata Belanda tempat persembunyiannya diketahui. Ia pun akhirnya ditangkap dan dikirim ke rumah tahanan penjara (kini bangunan Kantor Pos Besar Jalan Lambung Mangkurat Banjarmasin).

Markas Gerilya di Pangambangan dikuasai NICA. Sejumlah tokohnya seperti A. Ruslan, Hadhariah M, Aminuddin dan Abdul Kadir menjadi buronan NICA.

“Peristiwa 9 November 1945 adalah
awal perjuangan Kalimantan [Pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)], yang dimulai M. Amin Effendi, yang rela berkorban juga beliau,” ujar Rusdi Effendi, sejarawan Universitas Lambung Mangkurat dalam Peringatan Haul Jama dan Dialog Kejuangan Syuhada 9 November 1945, Jumat (8/11/2024) di Banjarmasin.

Menurut Rusdi, peristiwa penyerangan oleh BPRIK adalah rangkaian panjang kelanjutan perjuangan urang Banjar dari aksi-aksi militansi perlawanan sebelumnya. Pada paruh kedua abad ke-19 perlawanan pantang mundur dilakukan oleh para pahlawan Banjar seperti Demang Leman, Penghulu Rasyid dan Tumenggung Jalil. Mereka semuanya syahid bahkan kepalanya dipenggal Belanda.

Salah satu aksi perlawanan panjang terhadap Belanda paling menentukan gerakan selanjutnya adalah penyerangan tambang batu bara di Pengaron yang memantik pecahnya Perang Banjar 28 April 1859 oleh Pangeran Antasari dan pasukannya.

Gairah berperang para pejuang Banjar yang dilandasi iman tauhid itu melahirkan semangat perjuangan “Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing” (Haram Menyerah, Pantang Mundur Setia Berjuang Hingga Akhir).

Sayang kata-kata “Haram Manyarah” ini sekarang seperti sengaja dihilangkan dari khazanah kebudayaan islami warga Banjar.

“Bahkan ULM pun hanya mengambil Wasaka (Waja Sampai Kaputing),” kata Rusdi. “(Semangat perlawanan) Haram Manyarahnya (menghilang) entah kemana.” YBN/SS

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
- Advertisment -
Google search engine

paling banyak dibaca